Dewan Perwakilan Rakyat adalah salah satu dari dua contoh lembaga legislatif nasional terpilih di Indonesia. Bersama dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), lembaga kedua dengan kekuasaan terbatas, yang membentuk badan legislatif, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Sesuai dalam pasal 20A ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa DPR atau Dewan perwakilan rakyat memiliki kedudukan sebagai lembaga Negara, yang mempunyai 3 fungsi yaitu Fungsi Legislasi, Fungsi Anggaran, dan Fungsi Pengawasan.
Untuk menjalankan tugas dan wewenangnya tersebut, maka sesuai dengan pasal 20A ayat (2) UUD 1945 Jo. Pasal 77 UU No. 27 Tahun 2009 tentang tugas MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), dinyatakan bahwa sebagai Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki 3 hak, yaitu Hak Interplasi, Hak Angket, Hak Menyatakan Pendapat. Artikel ini akan secara spesifik mengulas tentang pengertian hak menyatakan pendapat dan contohnya yang pernah terjadi.
Hak Menyatakan Pendapat
Mekanisme penggunaan hak menyatakan pendapat dijelaskan dalam pasal 77 ayat (1) huruf c UU No. 27 Tahun 2009 tentang MD3. UU MD3 ialah Undang-undang tentang MPR, DPR, tugas dan wewenang DPRD dan DPD.
Undang-undang tersebut berisi aturan mengenai wewenang, tugas, dan keanggotaan MPR, DPR, DPRD dan DPD. Selain itu juga mengatur tentang hak, kewajiban, kode etik serta detil dari pelaksanaan tugas masing-masing lembaga tersebut.
Pasa 77 (1) mengatur bahwa DPR bisa menggunakan hak menyatakan pendapat atas kebijakan dalam sistem pemerintahan atau kejadian luar biasa. Hak tersebut juga bisa digunakan sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak angket, dan dugaan pelanggaran hukum.
Dalam Pasal 184 ayat (1) tertulis bahwa hak menyatakan pendapat paling sedikit 25 orang anggota DPR. Pengusulan tersebut disertai dengan dokumen yang memuat tentang materi dan alasan usul, dan materi hasil hak nagket yang disertai bukti-bukti yang sah atas dugaan pelanggaran hukum sebagaimana dalam pasal 77 ayat (4) huruf c.
Selanjutnya, usul menggunakan hak menyatakan pendapat diputuskan oleh 3/4 dari 3/4 jumlah anggota DPR. Kemudian DPR akan mengadakan sidang untuk memutuskan menerima atau menolak usulan hak menyatakan pendapat. Jika usul diterima maka akan dibentuk Panitia Khusus (Pansus) yang bertugas paling lama 60 hari.
Dalam pasal 187 ayat (2) yang mengatur tentang laporan Pansus apabila diterima, maka pendapat tersebut akan diteruskan ke Mahkamah Konstitusi. Selanjutnya dalam pasal yang sama pada ayat (3) dinyatakan bahwa jika laporan Pansus ditolak, maka hak tersebut dinyatakan selesai dan tidak bisa diajukan lagi. Dalam pasal 187 ayat (4) dinyatakan bahwa keputusan menerima atau menolak laporan Pansus harus atas persetujuan 2/3 dari 2/3 anggota DPR.
Akan tetapi, pada 12 Januari 2010, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya No. 23-26/PUU-VIII/2010, menyatakan bahwa pasal 184 (4) UU No. 27 Tahun 2009 bertentangan dengan UUD 1945, dan akibatnya tidak memiliki kekuatan mengikat. Putusan MK tersebut mengabulkan permohonan jud*cial review yang diajukan oleh sejumlah anggota DPR, yaitu Lily Chadidjah Wahid, Bambang Soesatyo, dan Akbar Faizal.
Hal yang dipermasalahkan oleh para pemohon tersebut adalah bahwa dalam pasal 184 (4) UU No. 27 Tahun 2009 yang mengatur ratio hak menyatakan pendapat harus mendapatkan persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri paling sedikit ¾ (tiga perempat), dengan persetujuan ¾ (tiga perempat) dari sejumlah anggota DPR yang hadir. Para pemohon tersebut berargumentasi bahwa rumusan pasal 184 (4) UU No. 27 Tahun 2009 tersebut bertentangan dengan pasal 7B ayat (3) serta pasal 20A ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945.
Bukan hanya itu, Maqdir Ismail (kuasa okum pemohon) menyatakan bahwa pengaturan dalam pasal 184 (4) telah mempersulit pelaksanaan atau bahkan mereduksi hak konstitusional bagi para anggota DPR dalam melaksanakan tugasnya sebagai pengawas pemerintah. Terlebih lagi dalam konteks pelaksanaan prinsip cheks and balances, hak menyatakan pendapat merupakan representasi dari fungsi DPR sebagai lembaga pengawas terhadap kinerja pemerintah (eksekutif).
Rumusan dalam pasal tersebut dirasa melebihi dari apa yang telah ditentukan dalam amandemen UUD 1945 dan sangat sulit untuk dipenuhi. Akibatnya adalah potensi DPR untuk menggelar okum hak menyatakan pendapat akan sangat kecil bahkan mustahil.
Namun Pemerintah dan tugas dan wewenang DPR berargumentasi yang sebaliknya, bahwa pasal 184 ayat (4) UU No. 27 Tahun 2009 tidak bertentangan dengan UUD 1945. Pemerintah menjelaskan bahwa rumusan tersebut muncul dengan pertimbangan supaya pengambilan keputusan yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat strategis dan dapat menimbulkan dampak tertentu yang bersekala nasional didukung oleh mayoritas anggota DPR secara signifikan.
Pemerintah dan DPR juga berpendapat bahwa persyaratan dukungan yang berjumlah sekurang-kurangnya ¾ itu adalah untuk memperkuat okum pemerintahan peresidensil, dimana kedaulatan ada di tangan rakyat, sehingga pemerintah tidak dijatuhkan dengan mudah dijatuhkan (dimakzulkan) oleh DPR. Selain itu, bertujuan juga untuk memperkokoh pemerintah yang stabil dan demokratis.
Sedangkan MK dalam putusannya berpendapat bahwa menurut okum ketatanegaraan Indonesia, hak menyatakan pendapat ada yang bersifat umum (lex generalis) sebagaimana diatur dalam pasal 20A UUD 1945; dan ada yang bersifat khusus (Lex specialis) sebagaimana diatur dalam pasal 7B UUD 1545 dilakukan dalam okum paripurna yang dihadri paling sedikit 2/3 anggota DPR dan disetujui oleh paling sedikit 2/3 anggota DPR yang hadir.
Dalam Pasal 184 ayat (4) UU No. 27 Tahun 2009 yang mengatur segala jenis hak menyatakan pendapat baik yang didasarkan pada pasal 20A UUD 1945 (Lex generalis) maupun didasarkan pada pasal 7A dan 7B UUD 1945 (Lex Specialis).
Segala jenis hak tersebut meliputi hak DPR untuk menyatkan pendapat atas kebijakan pemerintah, kejadian luar biasa, tindak lanjut hak interplasi dan hak angket, serta dugaan Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum.
Pengertian Hak Menyatakan Pendapat
Hak menyatakan pendapat dapat didefinisikan sebagai hak Dewan Perwakilan Rakyat untuk menyatakan pendapatnya atas kebijakan pemerintah atau pendapat atas kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air, maupun di kancah perjanjian internasional.
Jika dikerucutkan dalam ruang lingkup kerja lembaga legislatif daerah, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau DPRD, hak menyatakan pendapat ialah hak DPRD untuk menyatakan pendapatnya terhadap kebijakan kepala daerah atau pendapat yang berkaitan dengan kejadian luar biasa yang terjadi di lingkup daerah.
Usulan pendapat tersebut juga disertai dengan rekomendasi penyelesaian masalah atau sebagai tindak lanjut atas pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket.
Pengertian Hak Menyatakan Pendapat Menurut Para Ahli
Adapun definisi hak menyatakan pendapat menurut para ahli, antara lain:
Pasal 77 ayat (4) UU No 27 Tahun 2009 Tentang MD3
Hak menyatakan pendapat merupakan hak DPR untuk menyatakan pendapat atas :
- Kebijakan Pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi ditanah air atau di dunia internasional;
- Tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi sebagaimana dan hak angket ; atau
- Dugaan bahwa tugas Presiden dan/atau tugas Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum baik yang berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat, maupun perbuatan tercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat untuk mengemban amanah di dalam fungsi Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Contoh Hak Menyatakan Pendapat Yang Pernah Terjadi
Beberapa kasus penggunakan hak menyatakan pendapat DPR yang pernah terjadi di Indonesia, antara lain:
Hak Menyatakan Pendapat Kasus DKP
Usul hak pengajuan menyatakan pendapat terkait kasus dana nonbujeter DKP dalam Pilpres 2004 telah ditandatangi oleh 4 orang anggota DPR. Jika usul tersebut lolos, maka bisa menjadi langkah impeachment terhadap SBY-JK. Keempat anggota DPR tersebut antara lain Fahri Hamzah dari FPKS, Yudhi Krisnandi dari FPG, Ali Mochtar Ngabalin dari FPBB, dan Hairussaleh Rasyid dari FKB.
Ali Mochtar menjelaskan bahwa usulan itu disampaikan untuk meng-clearkan dana bantuan capres dan cawapres 2004 yang saat itu telah menjadi wacana publik. Fahri Hamzah mengemukakan bahwa landasan dalam mengajukan usul hak mengajukan menyatakan pendapat adalah pasal 184 bagian ketiga tata tertib DPR tentang usul menyatakan mengajukan pendapat.
Usulan tersebut akan diproses sesuai dengan meknisme yang ada sebagaimana persyaratan usul hak interpelasi yang harus didukung oleh minimal 13 anggota DPR. Kemudian akan disampaikan ke pimpinan untuk dibawa ke rapat Bamus. Selanjutnya akan diputuskan untuk diagendakan dalam paripurna. Apabila disetujui paripurna, lalu akan dibentuk pansus untuk menginvetigasi masalah tersebut.
Hak Menyatakan Pendapat Untuk Membebaskan Boediono dari bank Century
Hak menyatakan pendapat (HMP) yang diusulakan karena adanya skandal Bank Century yang diwacanakan Tim Pengawas DPR diharapkan tidak hanya dilihat secara politik untuk menjatuhkan mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) Boediono, tapi juga harus dilihat secara hukum.
Apabila keterlibatannya secara hukum tidak ada ketika disidangkan di Mahkamah Konstitusi (MK), maka Boediono yang ketika itu menjabat sebagai Wakil Presiden RI itu akan bebas secara hukum dan tidak tersandera lagi dalam kasus Bank Century. Hal tersebut sebagaimana yang diungkapkan oleh anggota Komisi III DPR Bidang Hukum, Bambang Soesatyo, di Jakarta, pada Senin, 27 November 2012.
Beliau juga berpendapat bahwa hak menyatakan pendapat dilandasi oleh semangat untuk menyelesaikan persoalan politik dan hukum yang selama ini menyandera Boediono dan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono. Implikasi politik yang dituimbulkan memang tak terhindarkan.
Apabila terbukti benar jika Boediono terlibat, maka Boediono bisa diberhentikan. Tapi apabila tidak terbukti keterlibatannya, maka Boediono bebas.
Nah, itulah tadi serangkaian artikel yang memberikan penjelasan serta pembahasan terkait dengan pengertian hak menyatakan pendapat menurut UU dan contohnya yang pernah terjadi di Indonesia. Semoga melalui tulisan ini bisa memberikan pengetahuan kepada segenap pembaca. Trimakasih,